CEKUNGAN FORMASI SEDIMEN SUMATRA SELATAN
Geologi Cekungan Sumatera Selatan
adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang berkaitan erat dengan penunjaman
Lempeng Indi-Australia, yang bergerak ke arah utara hingga timurlaut terhadap
Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman lempeng meliputi daerah
sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil
(micro-plate) yang berada di antara zone interaksi tersebut turut bergerak dan
menghasilkan zone konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman
lempeng Indi-Australia tersebut dapat mempengaruhi keadaan batuan, morfologi,
tektonik dan struktur di Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik lempeng di Pulau
Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik, dan busur belakang.
Cekungan Sumatera Selatan terbentuk
dari hasil penurunan (depression) yang dikelilingi oleh tinggian-tinggian
batuan Pratersier. Pengangkatan Pegunungan Barisan terjadi di akhir Kapur
disertai terjadinya sesar-sesar bongkah (block faulting). Selain Pegunungan
Barisan sebagai pegunungan bongkah
(block mountain) beberapa tinggian batuan tua yang masih tersingkap di
permukaan adalah di Pegunungan Tigapuluh, Pegunungan Duabelas, Pulau Lingga dan
Pulau Bangka yang merupakan sisa-sisa tinggian "Sunda Landmass", yang
sekarang berupa Paparan Sunda. Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami tiga
kali proses orogenesis, yaitu yang pertama adalah pada Mesozoikum Tengah, kedua
pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal dan yang ketiga pada Plio-Plistosen.
Orogenesis Plio-Plistosen menghasilkan kondisi struktur geologi seperti
terlihat pada saat ini. Tektonik dan struktur geologi daerah Cekungan Sumatera
Selatan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu, Zone Sesar Semangko, zone
perlipatan yang berarah baratlaut-tenggara dan zona sesar-sesar yang
berhubungan erat dengan perlipatan serta sesar-sesar Pratersier yang mengalami
peremajaa.
Secara fisiografis Cekungan Sumatra
Selatan merupakan cekungan Tersier berarah barat laut – tenggara, yang dibatasi
Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah
timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan
tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga
Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan
Cekungan Sumatera Tengah.Posisi Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan
busur belakang (Blake, 1989)
Tektonik
Regional
Blake (1989) menyebutkan bahwa
daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur
Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda
(sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah
cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah
barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur
oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh
Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Salim et al. (1995),
Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal Tersier (Eosen – Oligosen)
ketika rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi sistem penunjaman
menyudut antara lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua Asia. Menurut De
Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode
orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan
yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan
Orogenesa Plio – Plistosen.
Interaksi
antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng
Samudera India
Peta
Tektonik Sumatera
Episode pertama, endapan – endapan
Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah
struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar
struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997),
fase ini membentuk sesar berarah barat laut – tenggara yang berupa sesar –
sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir
berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak tensional yang membentuk graben
dan horst dengan arah umum utara – selatan. Dikombinasikan dengan hasil
orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan – batuan Pra – Tersier, gerak
gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi
Pra – Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi
pada Plio – Plistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi
dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk
konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi
pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko
yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang
terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan
Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar – sesar yang baru terbentuk di
daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat
pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio – Plistosen
menghasilkan lipatan yang berarah barat laut – tenggara tetapi sesar yang
terbentuk berarah timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara. Jenis
sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan
sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan
adalah struktur yang berarah barat laut – tenggara sebagai hasil orogenesa Plio
– Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat dibedakan atas
pola tua yang berarah utara – selatan dan barat laut – tenggara serta pola muda
yang berarah barat laut – tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera .
STRATIGRAFI
REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA BAGIAN SELATAN
Stratigrafi daerah Cekungan
Sumatera Selatan telah banyak dibahas oleh para ahli geologi terdahulu,
khususnya yang bekerja dilingkungan perminyakan. Pada awalnya pembahasan
dititik beratkan pada sedimen Tersier, umumnya tidak pernah diterbitkan dan
hanya berlaku di lingkungan sendiri.
STRATIGRAFI
SUMATRA SELATAN
Peneliti terdahulu telah menyusun
urutan-urutan stratigrafi umum Cekungan Sumatera Selatan, antara lain :
Van Bemmelen (1932), Musper (1937), Marks (1956), Spruyt (1956), Pulunggono
(1969), De Coster 2(1974), Pertamina (1981).
Berdasarkan peneliti-peneliti
terdahulu, maka Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu kelompok batuan Pra-Tersier, kelompok batuan Tersier serta
kelompok batuan Kuarter.
1.
Batuan Pra-Tersier
Batuan Pra-Tersier Cekungan
Sumatera Selatan merupakan dasar cekungan sedimen Tersier. Batuan ini
diketemukan sebagai batuan beku, batuan metamorf dan batuan sedimen (De Coster,
1974) Westerveld (1941), membagi batuan berumur Paleozoikum (Permokarbon) berupa
slate dan yang berumur Mesozoikum (Yurakapur) berupa seri fasies
vulkanik dan seri fasies laut dalam. Batuan Pra-Tersier ini diperkirakan telah
mengalami perlipatan dan patahan yang intensif pada zaman Kapur Tengah sampai
zaman Kapur Akhir dan diintrusi oleh batuan beku sejak orogenesa Mesozoikum
Tengah (De Coster, 1974).
2.
Batuan Tersier
Berdasarkan penelitian terdahulu
urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua
tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut laut.
Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut Kelompok Telisa
(De Coster, 1974, Spruyt, 1956), dari umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah
terdiri atas Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja
(BRF), dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut
disebut Kelompok Palembang (Spruyt, 1956) dari umur Miosen Tengah – Pliosen
terdiri atas Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi
Kasai (KAF).
a.
Formasi Lahat (LAF)
Menurut Spruyt (1956), Formasi ini
terletak secara tidak selaras diatas batuan dasar, yang terdiri atas
lapisan-lapisan tipis tuf andesitik yang secara berangsur berubah keatas
menjadi batu lempung tufan. Selain itu breksi andesit berselingan dengan lava
andesit, yang terdapat dibagian bawah. Batulempung tufan, segarnya berwarna
hijau dan lapuknya berwarna ungu sampai merah keunguan. Menurut De Coster
(1973) formasi ini terdiri dari tuf, aglomerat, batulempung, batupasir tufan,
konglomeratan dan breksi yang berumur Eosen Akhir hingga Oligosen Awal.
Formasi ini diendapkan dalam air tawar daratan. Ketebalan dan litologi sangat
bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lainnya karena bentuk cekungan yang
tidak teratur, selanjutnya pada umur Eosen hingga Miosen Awal, tejadi kegiatan
vulkanik yang menghasilkan andesit (Westerveld, 1941 vide of side katilli
1941), kegiatan ini mencapai puncaknya pada umur Oligosen Akhir sedangkan
batuannya disebut sebagai batuan “Lava Andesit tua” yang juga mengintrusi
batuan yang diendapkan pada Zaman Tersier Awal.
b.
Formasi Talang Akar (TAF)
Nama Talang Akar berasal dari
Talang Akar Stage (Martin, 1952) nama lain yang pernah digunakan adalah
Houthorizont (Musper, 1937) dan Lower Telisa Member (Marks, 1956). Formasi
Talang akar dibeberapa tempat bersentuhan langsung secara tidak selaras dengan
batuan Pra Tersier. Formasi ini dibeberapa tempat menindih selaras Formasi
Lahat (De Coster, 1974), hubungan itu disebut rumpang stratigrafi, ia juga
menafsirkan hubungan stratigrafi diantara kedua formasi tersebut selaras
terutama dibagian tengahnya, ini diperoleh dari data pemboran sumur Limau yang
terletak disebelah Barat Daya Kota Prabumulih (Pertamina, 1981), Formasi Talang
Akar dibagi menjadi dua, yaitu : Anggota “Gritsand” terdiri atas batupasir,
yang mengandung kuarsa dan ukuran butirnya pada bagian bawah kasar dan semakin
atas semakin halus. Pada bagian teratas batupasir ini berubah menjadi batupasir
konglomeratan atau breksian. Batupasir berwarna putih sampai coklat keabuan dan
mengandung mika, terkadang terdapat selang-seling batulempung coklat dengan
batubara, pada anggota ini terdapat sisa-sisa tumbuhan dan batubara,
ketebalannya antara 40 – 830 meter. Sedimen-sedimen ini merupakan endapan
fluviatil sampai delta (Spruyt, 1956), juga masih menurut Spruyt (1956) anggota
transisi pada bagian bawahnya terdiri atas selang-seling batupasir kuarsa
berukuran halus sampai sedang dan batulempung serta lapisan batubara. Batupasir
pada bagian atas berselang-seling dengan batugamping tipis dan batupasir
gampingan, napal, batulempung gampingan dan serpih. Anggota ini mengandung
fosil-fosil Molusca, Crustacea, sisa ikan foram besar dan foram
kecil, diendapkan pada lingkungan paralis, litoral, delta, sampai tepi laut
dangkal dan berangsur menuju laut terbuka kearah cekungan. Formasi ini berumur
Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan formasi ini pada bagian
selatan cekungan mencapai 460 – 610 meter, sedangkan pada bagian utara cekungan
mempunyai ketebalan kurang lebih 300 meter (De Coster, 1974).
c.
Formasi Baturaja (BRF)
Menurut Spruyt (1956), formasi ini
diendapkan secara selaras diatas Formasi Talang Akar. Terdiri dari batugamping
terumbu dan batupasir gampingan. Di gunung Gumai tersingkap dari bawah keatas
berturut-turut napal tufaan, lapisan batugamping koral, batupasir napalan
kelabu putih, batugamping ini mengandung foram besar antara lain Spiroclypes
spp, Eulipidina Formosa Schl, Molusca dan lain sebagainya. Ketebalannya
antara 19 - 150 meter dan berumur Miosen Awal. Lingkungan Pengendapannya adalah
laut dangkal. Penamaan Formasi Baturaja pertama kali dikemukakan oleh Van
Bemmelen (1932) sebagai “Baturaja Stage”, Baturaja Kalk Steen (Musper, 1973) “Crbituiden
Kalk” (v.d. Schilden, 1949; Martin, 1952), “Midle Telisa Member”
(Marks, 1956), Baturaja Kalk Sten Formatie (Spruyt, 1956) dan Telisa
Limestone (De Coster, 1974). Lokasi tipe Formasi Baturaja adalah di pabrik
semen Baturaja (Van Bemelen, 1932).
d.
Formasi Gumai (GUF)
Formasi ini diendapkan setelah Formasi
Baturaja dan merupakan hasil pengendapan sedimen-sedimen yang terjadi pada
waktu genang laut mencapai puncaknya. Hubungannya dengan Formasi Baturaja pada
tepi cekungan atau daerah dalam cekungan yang dangkal adalah selaras, tetapi
pada beberapa tempat di pusat-pusat cekungan atau pada bagian cekungan yang
dalam terkadang menjari dengan Formasi Baturaja (Pulonggono, 1986). Menurut
Spruyt (1956) Formasi ini terdiri atas napal tufaan berwarna kelabu cerah
sampai kelabu gelap. Kadang-kadang terdapat lapisan-lapisan batupasir glaukonit
yang keras, tuff, breksi tuff, lempung serpih dan lapisan tipis batugamping.
Endapan sediment pada formasi ini banyak mengandung Globigerina spp, dan
napal yang mengeras. Westerfeld (1941) menyebutkan bahwa lapisan-lapisan Telisa
adalah seri monoton dari serpih dan napal yan mengandung Globigerina sp
dengan selingan tufa juga lapisan pasir glaukonit. Umur dari formasi ini adalah
Awal Miosen Tengah (Tf2) (Van Bemmelen, 1949) sedangkan menurut Pulonggono
(1986) berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah (N9 – N12).
e.
Formasi Air Benakat (ABF)
Menurut Spruyt (1956), formasi ini
merupakan tahap awal dari siklus pengendapan Kelompok Palembang, yaitu pada
saat permulaan dari endapan susut laut. Formasi ini berumur dari Miosen Akhir
hingga Pliosen. Litologinya terdiri atas batupasir tufaan, sedikit atau banyak
lempung tufaan yang berselang-seling dengan batugamping napalan atau
batupasirnya semakin keatas semakin berkurang kandungan glaukonitnya. Pada
formasi ini dijumpai Globigerina spp, tetapi banyak mengadung Rotalia
spp. Pada bagian atas banyak dijumpai Molusca dan sisa tumbuhan. Di
Limau, dalam penyelidikan Spruyt (1956) ditemukan serpih lempungan yang
berwarna biru sampai coklat kelabu, serpih lempung pasiran dan batupasir tufaan.
Di daerah Jambi ditemukan berupa batulempung kebiruan, napal, serpih pasiran
dan batupasir yang mengandung Mollusca, glaukonit kadang-kadang
gampingan. Diendapkan dalam lingkungan pengendapan neritik bagian bawah dan
berangsur kelaut dangkal bagian atas (De Coster, 1974). Ketebalan formasi ini
berkisar 250 – 1550 meter. Lokasi tipe formasi ini , menurut Musper (1937),
terletak diantara Air Benakat dan Air Benakat Kecil (kurang lebih 40 km sebelah
utara-baratlaut Muara Enim (Lembar Lahat). Nama lainnya adalah “Onder
Palembang Lagen” (Musper, 1937), “Lower Palembang Member” (Marks,
1956), “Air Benakat and en Klai Formatie” (Spruyt, 1956).
f.
Formasi Muara Enim (MEF)
Menurut Spruyt (1956) formasi in
terlatak selaras diatas Formasi Air Benakat. Formasi ini dapat dibagi menjadi
dua anggota “a” dan anggota “b”. Anggota “a” disebut juga Anggota Coklat (Brown
Member) terdiri atas batulempung dan batupasir coklat sampai coklat kelabu,
batupasir berukuran halus sampai sedang. Didaerah Palembang terdapat juga
lapisan batubara. Anggota “b” disebut juga Anggota Hijau Kebiruan (Blue
Green Member) terdiri atas batulempung pasiran dan batulempung tufaan yang
berwarna biru hijau, beberapa lapisan batubara berwarna merah-tua gelap,
batupasir kasar halus berwarna putih sampai kelabu terang. Pada anggota “a”
terkadang dijumpai kandungan Foraminifera dan Mollusca selain
batubara dan sisa tumbuhan, sedangkan pada anggota “b” selain batubara dan sisa
tumbuhan tidak dijumpai fosil kecuali foram air payau Haplophragmoides spp
(Spruyt, 1956). Ketebalan formasi ini sekitar 450 -750 meter. Anggota “a”
diendapkan pada lingkungan litoral yang berangsur berubah kelingkungan air
payau dan darat (Spruyt, 1956). Lokasi tipenya terletak di Muara Enim, Kampong
Minyak, Lembar Lahat (Tobler, 1906)
g.
Formasi Kasai (KAF)
Formasi ini mengakhiri siklus susut
laut (De Coster dan Adiwijaya, 1973). Pada bagian bawah terdiri atas batupasir
tufan dengan beberapa selingan batulempung tufan, kemudian terdapat konglomerat
selang-seling lapisan-lapisan batulempung tufan dan batupasir yang lepas, pada
bagian teratas terdapat lapisan tuf batuapung yang mengandung sisa tumbuhan dan
kayu terkersikkan berstruktur sediment silang siur, lignit terdapat sebagai
lensa-lensa dalam batupasir dan batulempung tufan (Spruyt, 1956). Tobler (1906)
menemukan moluska air tawar Viviparus spp dan Union spp, umurnya
diduga Plio-Plistosen. Lingkungan pengendapan air payau sampai darat. Satuan
ini terlempar luas dibagian timur Lembar dan tebalnya mencapai 35 meter.
3.
Satuan Endapan Alluvial
Penyebaran satuan ini meliputi
daerah sungai dan tepian sungai-sungai besar berupa meander-meander ditengah
dan ditepi sungai. Ketebalan endapan alluvial ini bervariasi, dan satuan ini
terdiri dari hasil rombakan beku, batuan sedimen, batuan metamorf yang bersifat
lepas berukuran pasir halus hingga kerakal.
Referensi:
- Barber, A.J., Crow, M.J., Milsom, J. S., 2005, “Geology, Resources and Tectonic Evolution”, Geological Society London, Geological Society Memoirs No.31.
- Bishop, M.G., 2001, “South Sumatra Basin Province, Indonesia: The Lahat, Talang Akar-Cenozoic Total Petroleum System”. USGS Field Report 99-50-S.
- Eubank, R.T., Makki, A.C., 1981, “Structural Geology of The Central Sumatra Back Arc Basin”. Proceedings Indonesia Petroleum Association, Tenth Annual Convention.
- http://muhammadafit.blogspot.com/2013/11/geologi-indonesia-cekungan-sumatra.html
- http://pswtkertas.tumblr.com/post/32869528255/geologi-regional-cekungan-sumatera-selatan.
Informasi yang sangat bagus :)
BalasHapusijin share 14 tools ini:
http://titihmarket.blogspot.com/2019/03/14-tools-untuk-bisnis-online-2019.html
Salam,
TM
BalasHapusayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
dapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q